DEWAN DA’WAH TANGGAPI LAPORAN HRW
Sehubungan dengan laporan hasil penelitian Human Right Wacth (HRW) yang sebagian isinya dipublikasi di Harian Serambi Indonesia (3 Desember 2010) dengan Judul “HRW: Qanun Khalwat melanggar HAM”, maka Dewan Da’wah memberikan beberapa tanggapan:
1. Salah satu point dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia dijamin untuk bebas beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, yang ini juga dijamin oleh UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia), dalam baik dalam dimensi privat dan publik merupakan pengejawantahan dari kebebasan beragama. Oleh karena itu tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta untuk qanun-qanun tentang khalwat dan aturan menggunakan pakaian Islami harus dibekukan dan dicabut oleh Juru bicara HRW, Christien Broecker, menjadi tidak beralasan.
2. Dari empat kasus yang dijadikan ilustrasi dalam laporan HRW, sehingga berkesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM dan merekomendasikan untuk mencabut kedua qanun yang disebut diatas, secara metodologi juga, masih dapat dipertanyakan, karena dengan hanya empat kasus tersebut dan dengan mewawancara 80 orang di lima kabupaten/kota dalam waktu dua bulan (April-Mei 2010) serta korespondensi via telepon satu bulan (September 2010) apakah sudah cukup representatif membuat kesimpulan tersebut. Terlebih lagi orang-orang yang diwawancarai sepertinya tidak berimbang antara yang pro dan kontra dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh (karena tidak dipublish nama-nama responden secara lengkap). Jadi ini itu sifatnya lebih kasuistik dan kejadian itu sendiri tidak dikehendaki juga terjadi dalam proses penegakan qanun.[1]
3. Adanya pelanggaran dalam proses penegakan qanun diakui sebagai bagian dari kelemahan, sebagaimana juga diakui oleh Kepala Dinas Syariat Islam, Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad. Tetapi kelemahan itu jangan dijadikan alasan untuk menolak pelaksanaan qanun-qanun syariat di Aceh. Yang diperlukan adalah upaya perbaikan-perbaikan yang komprehensif dan signifikan. Jangan seperti kata pepatah “ gara-gara ada tikus dilumbung padi, lumbung padinya yang dibakar”.
4. Kami kira manusiawi, dan didunia manapun serta dalam sistem hukum apapun selalu saja ada kelemahan dan ekses negatif akibat dari diterapkannya sebuah produk hukum. Hal yang sama juga terjadi di Aceh dan belahan dunia lain, seperti yang terjadi dengan tawanan bawah tanah terhadap muslim di Guantanamo, invasi negara-negara barat dibawah komando AS terhadap beberapa negara kaum muslimin.. Untuk itu yang diperlukan upaya-upaya perbaikan secara terus menetrus untuk menuju kepada kesempurnaan.
5. Konsekwensi ketika sudah memilih Islam sebagai agama, maka suka tidak suka aturan hukum-hukum agama tersebut harus diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dan ini sangat selaras dengan kebebasan beragama. Baru melanggar HAM kalau kepada pemeluk agama selain Islam dipaksakan untuk menggunakan hukum Islam., dan tidak aturan yang akan jalan kalau tidak diawali dengan ketegasan dan sanksi..
6. Kepada pihak pemerintah baik di Aceh maupun di Pusat agar dapat memberikan jawaban dan klarifikasi yang profesional dan proposional terhadap laporan HRW. Karena beberapa rekomendasi mereka sepertinya sudah terlalu jauh ‘mencampuri” urusan keyakinan agama seseorang dan kekuasaan sebuah bangsa.
Banda Aceh, 3 Desember 2010
Pengurus Dewan Da’wah Aceh,
Bismi Syamaun
Pj. Ketua Umum
[1] Laporan ini berdasarkan pada penelitian Human Rights Watch di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa dan Meulaboh, Aceh, dan Jakarta pada bulan April dan Mei 2010 dan penelitian lanjutan melalui korespondensi dan telepon selama bulan September. Human Rights Watch melakukan wawancara mendalam dengan lebih dari 80 orang, termasuk 11 perempuan dan seorang perempuan transjender yang mengalami pelanggaran-pelanggaran dalam penerapan Syariah, dan lima (5) perempuan, tiga (3) laki-laki dan seorang perempuan transjender yang menyaksikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kami berbicara dengan tiga (3) laki-laki yang berpartisipasi dalam satu atau lebih kejadian dimana anggota masyarakat menangkap orang-orang yang dicurigai melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian,” lima (5) saksi kejadian serupa, dan empat (4) perempuan korban kejadian serupa. Human Rights Watch juga berbicara dengan lima (5) perwakilan organisasi internasional yang bekerja di Banda Aceh, Aceh, di Jakarta, 32 aktivis masyarakat sipil setempat, dan 33 orang lainnya, termasuk 29 perempuan dan empat (4) perempuan transjender, tentang pendapat mereka terkait penerapan hukum Syariah di Aceh. Kami menyebarkan kuisioner rinci melalui email dan dengan bantuan para aktivis masyarakat sipil di Aceh tentang pendapat dan pengalaman pribadi terkait penerapan hukum Syariah dan menerima 48 respon. Human Rights Watch mengadakan wawancara dengan empat (4) petugas polisi di Banda Aceh dan Meulaboh dan dua (2) petugas Dinas Syariat Islam di tingkat provinsi. Kami juga berbicara dengan Wakil Gubernur Aceh, juru bicara DPR Aceh, dan dua (2) ulama di IAIN Al-Raniry. (lebih lengkap baca di http://www.hrw.org/en/node/94464/section/14) .